Dosen Hukum Unsrat Beberkan Modus Mafia Tanah Versus Kebijakan Pemerintah

MANADO, mejahijau.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Eugenius Paransi SH MH, mengulas soal Kebijakan Pertanahan VS Mafia Tanah appraisal terdiri dalam tiga aspek kepada redaksi mejahijau.com, Kamis, 23 Juli 2020.

Tiga aspek tersebut di antaranya, masalah konsinyasi apabila ada pihak yang bersengketa, masalah kepastian hukum terhadap sertifikat yang sering digugat dan dibatalkan oleh Pengadilan, serta sindikat mafia tanah yang bekerjasama dengan instansi yang berwenang secara terstruktur dan sistimatis.

Menurut Paransi, semuanya itu mewarnai problematika hukum di sekitar pertanahan yang tiada habis-habisnya untuk dibahas. Terakhir Kapolda Sulut Irjen Pol Drs Royke Lumowa MM, tiba-tiba mempertegas komitmen kepolisian memberantas mafia tanah yang menyengsarakan rakyat.

Eugenius Paransi yang juga Tim Ahli DPRD Provinsi Sulut kemukakan soal kecurigaan Kapolda Sulut adanya beberapa modus operandi mafia tanah, seperti pura-pura membeli dan modus lainnya menipu pemilik tanah demi keuntungan pribadi dan korporasi.

“Modusnya pura-pura jadi pembeli tanah hingga kantor notaris yang tentunya abal-abal. Semuanya diawali dengan jual-beli properti dilakukan penjual dengan pembeli dalam pertemuan untuk melakukan transaksi,” paparnya.

Dia menerangkan, seseorang berperan menjadi pembeli yang seolah-olah akan membeli aset properti dengan nilai yang disepakati. Untuk meyakinkan penjual mereka memberikan uang muka, kemudian mafia tanah menunjuk kantor notaris palsu yang merupakan satu komplotan jaringan mafia tanah.

“Kantor notaris palsu didesain sedemikian rupa, dipasang plang notaris, dengan hadirnya staf kenotarisan yang tentunya figur-figur tersebut diciptakan sedemikian rupa untuk meyakinkan penjual. Dan setelah pembeli dan penjual bertemu, pembeli meminta sertifikat dari penjual dengan dalih untuk di cek ke BPN,” urai Paransi.

Lebih jauh mantan Ketua KPU Manado ini mengatakan, setelah terjadi perpindahan kepemilikan sertifikat dari penjual ke pembeli yang tak lain mafia tanah dilakukan upaya pemalsuan dokumen dengan memalsukan sertifikat dan diiring pemalsuan identitas lainnya berupa KTP, KK, bahkan surat cerai.

Bahkan lanjut dia, saat pihak perizinan melakukan upaya pengecekan, kembali dilakukan pemalsuan sistematis dan meyakinkan juga turut didukung oknum sesuai pemalsuan tersebut. Akhirnya pihak berizin yakin dan mencairkan dana sesuai yang disepakati dengan jumlah yang sangat besar.

“Terjadilah pemindahan hak kepemilikan atau hak properti dari pihak penjual ke kelompok mafia. Dan si penjual tentu sangat dirugikan dalam.jumlah yang sangat besar,” terangnya.

Bagi praktisi hukum ini, ada juga modus legal lainnya, yaitu, pembeli tanah sudah lebih dulu mengetahui rencana pembangunan atas tanah yang belum diketahui oleh masyarakat. Pemilik modal membeli dengan harga yang murah kepada masyarakat, kemudian dijual kembali kepada pemerintah dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga masyarakat.

Sehingga dampaknya banyak masyarakat yang menyesal telah melepas kepemilikkan tanahnya pada waktu-waktu yang lalu.

Disamping itu ada pula modus mafia tanah membawa bawa keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menunjukan anmaning pengadilan, surat keterangan tanah, dan surat ukur dari kepala desa, padahal putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut dapat dikategorikan secara hukum non-executable artinya putusan tidak dapat dieksekusi.

Modus seperti itu, kata Eugenius Paransi, merupakan praktek jebakan para mafia tanah dengan menggunakan putusan pengadilan. Belum lagi ada modus operandi sindikat mafia tanah dengan instansi yang berwenang, dan yang ini jauh lebih berbahaya karena termasuk kejahatan terstruktur dan sistematis untuk memperdaya masyarakat.

Pelak saja kondisi seperti itu rakyat selaku pemilik tanah termajinalkan dan terjadi pemiskinan struktural serta kesenjangan ekonomi yang melebar.

“Nah untuk mengatasi hal seperti itu terjadi, yakni bagaimana cara memberangus dengan memulai pembersihan aparat yang bermental korup. Sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo yang salah satunya adalah Revolusi Mental (National Character Building),” ulas Paransi.

Pembersihan dari hulu ke hilir, kata dia, sangat penting untuk mengembalikan hakikat fungsi negara yang diamanatkan pasal 33 UUD 45 menjadi sebuah impian masyarakat.

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah kebijakan yang sangat ideal karena tujuannya tanah-tanah masyarakat semua terdaftar dengan target 7 (tujuh) juta sertifikat seperti yang akan dijangkau oleh pemerintah. Namun itu akan menjadi permasalahan dikemudian hari ? Apabila manajemen data fisik dan data yuridis, yaitu dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka: 6. Data fisik adalah keterangan mengenai letak batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. 7. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban beban lain yang membebaninya.

Di akhir kalimat itu, kata pegiat anti korupsi ini, apabila tidak baik dikelola dan tidak adanya keterbukaan kepada masyarakat, maka akan berpotensi terjadinya gugatan hukum.

Demikian sekelumit gagasan konstruktif merespon permasalahan tanah dan political will kebijakan pemerintah. Sehingga tidak terjadi penggalan syair Ebit G. Ade: “perjalanan ini terjadi sangat menyedihkan…….

banyak jeritan yang musti kau saksikan….. gembala kecil menangis sedih, ohhh.. ohhhhooo.. “Mari tangisan rakyat atas tanah-tanah mereka kita jawab bersama.” (ferry lesar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *