Penyelesaian Konflik Agraria

PROGRAM Pemerintah Provinsi (Pemprov)DKI Jakarta bertajuk Bersih Manusiawi Berwibawa (BMW) berada di pusaran kasus karena sedang tersangkut masalah agraria. Berdasarkan keputusan PTUN pertengahan Mei 2019, Pemprov DKI Jakarta dituntut PT Buana Permata Hijau (sebagai penggugat) untuk menghentikan pembangunan stadion yang bakal menjadi kebanggaan warga DKI Jakarta itu.

Dalam amar putusan terkait lahan yang di atasnya bakal dibangun Stadion BMW itu—dikenal juga dengan nama Jakarta International Stadium (JIS)— majelis hakim mengabulkan gugatan PT Buana Permata Hijau dan membatalkan sebagian lahan stadion yang bersertifikat hak pakai Pemprov DKI Nomor 314 dan 315, yang menjadi dasar pembangunan stadion. Turut menjadi tergugat ialah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara, yang mengeluarkan sertifikat tanah tersebut.

Namun, menurut Yayan Yuhana, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI, dalam amar putusan PTUN tidak mengamanatkan penghentian pembangunan. Pengadilan hanya memutuskan menggagalkan hak pakai DKI yang dipergunakan untuk membangun (CNN, 16/5).

Jauh sebelumnya, 2009, masalah agraria terjadi antara Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPHS) dan PT SMART. Dalam kasus menyangkut hak guna usaha (HGU) ini, KTPHS mengklaim bahwa PT SMART terindikasi melakukan pelanggaran HAM saat menangani masalah tanah. Sebaliknya, PT SMART mengklaim dengan menyatakan sertifikat HGU sudah diterbitkan dan berlaku sampai 2082 atas nama PT SMART (Hari, 30/6).

Kasus agraria lain terjadi di beberapa tempat, dengan modus yang berbeda-beda. Ujung-ujungnya konflik dan saling klaim mengenai status tanah. Contoh-contoh kasus itu menyadarkan kita bahwa tanah memang sarana yang amat penting dalam pembangunan dan bagi kehidupan manusia.

Dari aspek ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industri, pertanian komersial). Dari aspek politik, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam keputusan bagi masyarakat. Adapun dari aspek sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.

Terakhir, dari sisi hukum, tanah merupakan dasar kekuatan untuk yurisdiksi. Meski berbagai aspek penting tanah ini sering kali menimbulkan konflik di masyarakat, yang ditandai dengan terjadinya konflik agraria, yaitu perselisihan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga, yang berdampak luas secara sosiopolitik.

Perselisihan pertanahan penyelesaiannya dilaksanakan lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan (Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 jo Peraturan Kepala BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengelolaan, Pengkajian, dan Penanganan Kasus Pertanahan). Konflik agraria pun kerap menimbulkan tindak kekerasan.
Selama konflik berlangsung, tanah yang menjadi objek konflik umumnya berada dalam keadaan status quo.

Akibatnya, tanah yang bersangkutan tidak bisa dimanfaatkan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas sumber daya tanah yang merugikan kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah. Timbulnya konflik agraria menjadi tanda utama bahwa pembaruan agraria harus segera dilaksanakan.

Konflik agraria timbul akibat adanya ketimpangan kepemilikan dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber agraria (ketimpangan struktur agraria). Konflik ini bersifat kronis, masif, meluas, dan berdimensi hukum, sosial, politik, serta ekonomi.

Konflik juga bersifat struktural. Hal ini ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan kegunaan tanah serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang disebabkan adanya benturan-benturan antara pihak yang hendak mengusai tanah dan pihak yang mempunyai hak dan kepentingan atas tanah. Selain itu juga dipengaruhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tumpang-tindih.

Dalam konflik juga terjadi penyalahgunaan wewenang memberikan izin usaha penggunaan tanah dan pengelolaan SDA dengan tidak menghormati keberagaman hukum hak tenurial masyarakat. Terakhir, dalam konflik biasanya terjadi pelanggaran HAM.

NEGARA HARUS HADIR
Peristiwa yang terjadi antara PT Buana Permata Hijau, Pemprov DKI, dan BPN Jakarta Utara, serta kasus antara KTPHS dan PT SMART, menunjukkan bahwa negara harus hadir dalam urusan agraria. Dalam agenda prioritas Nawacita yang kelima, negara diamanatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah.

Dalam rangka mewujudkan penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah, hal itu mempunyai makna bahwa konflik penguasaan SDA dapat diselesaikan. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan aset dan penataan akses serta memberikan kepastian hukum terhadap penguasan tanah. Penyelesaian konflik agraria merupakan salah satu tujuan reforma agraria.

Dengan melihat secara sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengenai SDA, khususnya di bidang pertanahan, dengan tidak melepaskan kaitannya dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai payung hukum dari semua aturan hukum agraria.

Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) yang bertugas menerima pengaduan kasus, menganalisis kasus, memverifikasi lapangan, mengadakan rapat koordinasi, dan memberikan rekomendasi penyelesaian, menandakan bahwa pemerintah serius menangani konflik agraria. Oleh sebab itu, koordinasi antarinstansi yang terkait dengan masalah agraria/pertanahan untuk mengatasi atau mencegah tumpang-tindih kewenangan maupun tumpang-tindih administrasi pertanahan sangat penting.

Penyelesaian tumpang-tindih di antara instansi-instansi pemerintah harus dilakukan secara musyawarah atau melalui instansi yang lebih tinggi dengan mekanisme koordinasi.

REKOMENDASI
Beberapa rekomendasi terkait penyelesaian konflik agraria yang perlu segera dilakukan; pertama, menyangkut penataan di bidang peraturan perundang-undangan tentang penyelesaian konflik agraria, mulai UU, PP, perda, sampai dengan surat keputusan bupati.

Kedua, adanya peran serta semua pihak, yaitu pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan, pemda, serta pemimpin informal/ketua-ketua masyarakat hukum adat. Ketiga, pemda berlaku sebagai mediator independen (tidak memihak).

Keempat, DPRD berkomitmen kuat untuk membantu masyarakat. Kelima, buka saluran keluhan warga sebelum terjadi konflik. Keenam, para pihak harus membangun komunikasi yang intensif. Ketujuh, sosialisasi dan monitoring kesepakatan.

Kedelapan, pilihan kompensasi yang bersifat sustainable. Kesembilan, akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya tidak putus. Kesepuluh, perlu ada pemahaman dan pengetahuan yang setara mengenai hukum di antara para pihak. Kesebelas, keputusan diambil secara sukarela dan tidak dimanipulasi. Keduabelas, mediator memahami sosiobudaya masyarakat setempat. Ketigabelas, identifikasi sumber, aktor, dan cakupan konflik/sengketa.

Selain aspek-aspek pendukung penyelesaian konflik di atas, yang penting ialah bukan caranya, melainkan pemahaman tentang sumber, asas ketentuan, serta penerapan asas dan ketentuan tersebut dalam menyelesaikan konflik/sengketa. Selanjutnya, kebijakan dan produk hukum pertanahan di kabupaten/kota yang bersifat lintas sektoral dan partisipatif harus dikaji ulang secara berkala.

Semua itu dilakukan dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah, dan prinsip keadilan. -Artikel termuat di mediaindonesia.com(Penulis: Aartje Tehupeiory, Dosen Pascasarjana Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua LPPM UKI, Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *